Batik ATBM di Apip's Batik

Perjalanan saya kali ini menuju ke sebuah rumah yang teduh nan nyaman yang berada di daerah jalan Kaliurang, tepatnya Jln. Pandega Marta 37A, Pogung. Nama toko yang saya tuju adalah Apip’s Batik, cukup pendek dan mudah untuk diingat. Apip’s batik adalah salah satu toko kerajinan batik yang ada di Jogja. Tentu saja ada yang membedakannya dengan kerajinan batik yang lain, so come on, let’s check it out!

Pada awalnya, motif batik di Apip's batik berlatar belakang pada budaya batik Pekalongan. Namun seiring dengan perkembangannya, Apip's saat ini telah memiliki ciri khas tersendiri dengan menghadirkan berbagai motif daerah di pelosok negeri yang pewarnaannya sudah mengambil warna-warna modern, tanpa meninggalkan pewarnaan batik tradisional.

Keistimewaan yang dapat Anda temui di Apip’s batik adalah bahan batik yang terbuat dari sutera. Tapi tunggu dulu, bukan sembarang sutera, melainkan sutera tenun tradisional yang kini lebih dikenal dengan sutera ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin). Untuk bahan sutera ini, Apip’s sudah memiliki mitra kerja tetap sehingga tekstur kain bisa khas dan berbeda dengan sutera ATBM lain yang ada di pasaran. Selain bahan batik dari sutera ATBM, Apip’s juga menyediakan batik dari sutera super dan sutera mesin.

Istimewanya lagi, untuk pewarnaan batik-batiknya, Apip's batik menggunakan tumbuh-tumbuhan yang bisa menghasilkan berbagai warna modern sebagai bahan utama. Walau banyak warna batik modern, warna sogan yang merupakan warna batik tradisional pun tidak dilupakan dan tetap dipakai dalam beberapa kerajinan batiknya. Sedangkan untuk motif batiknya sendiri, tersedia batik tulis dan batik cap. Khusus untuk batik cap, pengerjaannya juga tetap mendapatkan sentuhan batik tulis pada motif-motif tertentu yang tidak bisa dijangkau oleh cap demi mendapatkan motif batik yang sempurna. Anda pasti semakin penasaran dengan barangnya, kan?

Sebagai informasi, Apip’s batik memiliki bidikan atau sasaran pasar orang dewasa, seperti suami-istri, atau orang yang sudah mapan pekerjaannya. Karenanya penggarapan dan barang-barangnya pun disesuaikan dengan pasar tersebut. Barang-barang kerajinan batik yang bisa Anda temukan adalah berbagai produk pakaian dan asesorisnya. Ada kain pantai atau pareo, selendang besar dan selendang kecil, sarimbit (pakaian untuk pasangan suami istri), three in one, serta berbagai model pakaian dewasa laki-laki dan perempuan.

Soal pilihan, semua kembali kepada selera Anda sebagai pembeli. Yang pasti, Apip’s batik menyediakan berbagai pilihan yang bagus dan berkualitas tinggi. Soal harga, sebagai gambaran saja, bahan kemeja dari sutera ATBM berkisar antara Rp 900.000,- - Rp 1.250.000,-. Sedangkan dari bahan sutera super berlisar antara Rp 450.000,- - Rp 800.000,-. Kain selendang dari sutera super, harganya sekitar Rp 400.000,- - Rp 1.500.000,-, dan yang sutera ATBM sekitar Rp 1.750.000,- - Rp 7.500.000,-.

Berminat untuk tahu lebih banyak? Anda dapat langsung mendatangi tokonya atau menghubungi via telepon di +62-274-589914, 580665. Kalau Anda juga penasaran dengan kegiatan produksi Apip’s batik, Anda dapat mengunjungi griya seninya di Pugeran Maguwoharjo, Ring Road utara (+62-274-7484477). Tapi karena hanya rumah produksi, Anda pun tidak bisa membeli barang kerjinan di sana.(titi)



Batik Pasar Beringharjo


Kalau kota Solo terkenal dengan Pasar Klewer-nya, Jogja terkenal dengan Pasar Beringharjo. Pasar tradisional yang terletak di jalan Malioboro bagian selatan dan dekat dengan benteng Vredeburg ini merupakan salah satu ciri khas Jogja. Pasar ini sangat luas dan terdiri dari tiga lantai dengan masing-masing lantai dan tempat memiliki pos barang dagangan yang berbeda-beda. Kali ini Anda akan diajak untuk menjelajahinya dan mendapatkan berbagai barang yang Anda cari. Namun terlebih dulu siapkan diri untuk berdesakan dan menawar harga. Anda siap? Ayo...!!!!

Salah satu oleh-oleh yang banyak tersedia di Pasar Beringharjo adalah batik mengingat batik juga menjadi salah satu barang khas Jogja. Kalau dulu batik identik dengan hal-hal yang berbau tradisional sehingga lekat dengan adat Jawa dan orang tua, kini sudah menjadi salah satu tren untuk semua umur.

Koleksi batik di pasar ini cukup lengkap, baik untuk anak-anak, remaja, dan orangtua, semua tersedia dalam berbagai model, termasuk jika anda ingin membeli batik yang seragam untuk keluarga. Berbagai macam batik dapat ditemukan di sini, dari kain batik, jarit (kain batik untuk bawahan berbusana jawa), baju batik untuk resepsi atau acara resmi, daster batik, seprei batik, sampai dengan asesoris rumah dari batik.

Kios-kios yang ada di pasar Beringharjo ini menjual berbagai batik yang dibuat oleh para pengusaha kelas kecil dan menengah sehingga tidak banyak merek terkenal atau merek tertentu, meskipun ada beberapa. Jadi pasar ini tepat buat mereka yang tidak fanatik terhadap satu merek batik tertentu.

Jajaran kios batik ini terletak di bagian depan sayap kiri pasar dan bagian dalam setelah memasuki pintu utama sampai dengan 75 meter ke belakang. Banyak sekali kios-kios yang menjual berbagai hal berbau batik, jadi anda dapat berkunjung dari satu kios ke kios yang lain. Harganya pun sangat beragam, dari yang belasan ribu sampai puluhan ribu bisa ditemukan. Kunci untuk berbelanja di tempat ini adalah kepintaran untuk memilih barang dengan kualitas yang bagus dan kemampuan untuk menawar. Bukan tidak mungkin, barang yang didapatkan kualitasnya tidak terlalu bagus tetapi harganya cukup tinggi.

Terdapat dua pilihan Batik yang dijual di Pasar Beringharjo yaitu batik cetak dan batik tulis. Batik cetak adalah batik yang motifnya dicetak dengan mesin, sedangkan batik tulis motifnya dibuat asli perlahan-lahan dari tangan si pembuat dengan menggunakan bahan malam dan alat yang bernama canting. Untuk membedakannya, perhatikan bagian dalam dan luar kain batik yang akan dibeli. Jika bagian dalam dan luar tidak sama, yaitu bagian luar tercetak jauh lebih jelas, maka itu merupakan batik cetak, tetapi jika bagian dalam dan luar sama, itulah batik tulis. Karena rumitnya pembuatan, harga batik tulis relatif jauh lebih mahal.

Batik di Pasar Beringharjo dapat dibeli dalam jumlah yang besar karena selain wisatawan yang membeli oleh-oleh batik secukupnya, pasar ini merupakan pusat grosir penjual batik eceran di Jogja maupun luar Jogja. Sayangnya, pasar ini hanya buka sampai jam 5 sore.

Satu lagi yang perlu diingat, Pasar Beringharjo, seperti pasar-pasar lainnya adalah tempat umum yang rawan copet. Berhatilah-hatilah dengan barang berharga Anda, siapa tahu, ada copet yang sedang mengawasi. Siapkah Anda berbelanja batik?(titi)

Kain Batik

Batik memiliki beragam motif. Tak hanya dari dalam negeri, batik ada yang berasal dari mancanegara, seperti Rusia.

Di Indonesia sendiri, motif batik juga bervariasi, diantaranya adalah batik Jogja dan batik SOlo. Walau keduanya menggunakan ukel dan semen-semen, namun sebenarnya kedua batik ini berbeda. Perbedaannya terletak pada warnanya. Batik Jogja berwarna putih dengan corak hitam, sedangkan batik Solo berwarna kuning dengan corak tanpa putih.

Penggunaan kain batik ini pun berbeda-beda. Di Kraton Jogja, terdapat aturan yang pakem mengenai penggunaan kain batik ini. Untuk acara perkawinan, kain batik yang digunakan haruslah bermotif Sidomukti, Sidoluhur, Sidoasih, Taruntum, ataupun Grompol. Sedangkan untuk acara mitoni, kain batik yang boleh dikenakan adalah kain batik bermotif Picis Ceplok Garudo, Parang Mangkoro, atau Gringsing Mangkoro.

Saat ini batik telah menjadi tren baru di tengah masyarakat. Tak hanya sandang yang menggunakan kain batik sebagai bahannya. Sarung bantal, gordyn, dan seprei pun telah ada yang menggunakan kain batik. Ini adalah awal mula yang baik bagi pelestarian seni batik. Awalnya harus mencintai dahulu, kemudian muncul rasa andarbeni (memiliki) dan akhirnya nguri-uri (melestarikan).

Kesadaran ini sudah mulai dan terus digalakkan. Batik Tamanan Kraton pun dibentuk untuk khusus membatik motif Kraton Jogja.(ind)

Beragam Baju Batik Koleksi �Bona�

Trend batik semakin berkembang akhir-akhir ini. Jika dulu masyarakat mengenal batik hanya pada kain dan kemeja pria, saat ini banyak wanita dan anak-anak yang juga gemar mengenakannya. Beberapa daerah seperti Jogjakarta, Solo, dan Pekalongan terkenal sebagai penghasil batik. Jika batik Jogjakarta dan Solo dikenal memiliki pakem dan aturan tertentu dalam pemakaiannya, batik Pekalongan cenderung lebih bebas. Kebebasan ini salah satunya nampak dari hasil batikan yang memiliki ragam corak dan warna yang cukup banyak.

“Satu hal yang turut mempengaruhi kebebasan batik pekalongan adalah lokasinya yang berada di sekitar pesisir”, ungkap Vita, putra ke-dua Any Rakhmaningsih sang pemilik Bona Batik. Tidak mengherankan bila akhirnya muncul aneka motif batik dari berbagai hewan, tumbuhan, maupun unsur alam dengan warna-warna cerah. Batik-batik itu semakin terlihat indah dengan aneka model baju yang sedang trend di kalangan masyarakat. Untuk mendapatkan berbagai koleksi tersebut Anda dapat berkunjung ke Batik Bona yang beralamat di Jl. Gejayan Soropadan No. 35 Jogja. Disana Anda akan menemukan beraneka macam baju mulai dari baju untuk anak-anak, remaja, wanita dan pria, serta daster santai untuk ibu-ibu yang tentunya sangat cocok untuk dijadikan oleh-oleh bagi teman atau sanak keluarga.

Usaha yang lebih fokus pada pakaian ini telah berdiri sejak puluhan tahun silam. Sebutan ‘Bona’ sebenarnya merupakan warisan dari sang nenek. Saat itu Bona merupakan toko perlengkapan bayi. Setelah diambil alih oleh Any Rakhmaningsih sekitar tahun 1983 usaha ini dialihkan ke batik untuk turut mengembangkannya sebagai salah satu kekayaan budaya. Sementara di Jogjakarta usaha ini baru berdiri sekitar dua tahun lalu.Batik pada umumnya terbagi menjadi dua macam yakni, batik tulis dan batik cap. Itu pulalah yang ditawarkan oleh Bona Batik dalam koleksinya. Meskipun berasal dari pekalongan, batik yang ditawarkan tidak melulu bermotif bebas dan cerah. Ada beberapa motif Jogja yang yang rapi dan ‘batik banget’ dengan warna coklatnya dalam berbagai model baju.

Tingkat kerumitan dalam pembuatannya tentu akan berpengaruh pada harga yang ditawarkan. Batik cap misalnya, dalam balutan daster dan baju santai dapat diperoleh dengan harga Rp 22.500. Sementara untuk koleksi baju pria dan wanita dengan model lebih resmi harganya berkisar antara Rp 55.000 hingga Rp 325.000.Bona batik juga melayani permintaan dalam partai besar. Jika Anda berniat untuk menyalurkannya sebagai salah satu usaha, mereka siap melayami. (les)


Setaman, Surganya Batik dan Kerajinan

Saat Anda berkunjung ke kota Jogja, tentunya tak akan melewatkan Malioboro yang sudah menjadi ikon kota budaya ini. Malioboro memang menawarkan banyak hal, mulai dari mall yang menjadi lambang modernitas sampai dengan pedagang kaki lima yang menyajikan berbagai makanan khas dan kerajinan tradisional. Sehingga tidak mengherankan bila ada yang menyebutnya sebagai surganya belanja.

Jika Anda ingin lebih mengenal kebudayaan Jogja, datanglah ke Keraton yang terbuka untuk umum. Di tempat ini Anda bisa mendapatkan banyak pengetahuan mengenai awal berdirinya kota budaya ini hingga peninggalan-peninggalan dan tokoh-tokohnya. Lokasinya sangat mudah dijangkau, bila Anda telah berada di Mallioboro ambilah jalan lurus menuju Alun-alun Utara. Perjalanan dapat dinikmati dengan naik becak atau andong bahkan berjalan kaki saja.

Setelah menikmati suguhan di Keraton, sangat disayangkan bila langkah kaki Anda tidak diarahkan menuju pasar Ngasem yang berdempetan dengan Taman Sari. Tempat ini tidak jauh dari Keraton, bahkan Anda dapat mencapainya hanya dengan melangkahkan kaki ke aras barat sedikit dan berbelok ke selatan.

Memasuki jalan pasar ini Anda akan langsung disambut dengan jajaran kios yang menawarkan aneka sangkar burung. Jangan heran, karena tempat ini memang mendapat predikat sebagai pasar burung. Tetapi jangan mengira bahwa Anda hanya akan menemukan burung, karena di pasar yang berlatar belakang Taman Sari ini juga menjadi tempat persinggahan ikan dan binatang piaraan lain seperti, anjing, kucing, ular, kura-kura, dan sebagainya.

Jika Anda berencana untuk menjadikan pasar Ngasem dan Taman Sari sebagai persinggahan terakhir dari perjalanan di pusat kota, jangan lupa untuk mampir ke Setaman yang ada di ujung sayap kanan pasar ini.

Di tempat yang dari luar hanya nampak seperti toko batik ini Anda akan menemukan banyak kejutan. Disana terdapat banyak pintu yang akan menghubungkan Anda dengan ruangan-ruangan yang menyajikan berbagai karya seni unik.

Di ruangan sebelah kanan, Anda dapat menikmati aneka kerajinan kalsik dan perak. Memasuki ruangan lebih dalam, Anda akan disambut dengan jajaran lukisan batik serta keramik dan wayang. Sebagian kerajinan inni berasal dari Kampung Taman dan Taman Sari yang terletak di belakang showroom ini. Untuk mendapatkan berbagai lukisan batik tadi Anda dapat mengeluarkan uang antara Rp 30.000 sampai dengan Rp 100.000

Setelah menikmati berbagai karya seni di ruangan ini, Anda dapat kembali melihat-lihat berbagai koleksi baju batik di sebelahnya. Lebih masuk lagi, Anda akan menemukan ukiran-ukiran yang tertulis pada hamparan kain sutra. Berbagai motif batik mulai dari Pekalongan hingga Solo bisa ditemukan disini. Namun bagi Anda yang menginginkan batik produksi Setaman, motif Jogja adalah keahliannya.

Usaha batik milik Hj Siti Utami Pertiwi ini diproduksi di Ringroad Selatan. Berbagai koleksi baju mulai dari anak-anak hingga dewasa pria dan wanita dirancang khusus bagi Anda. Sebagai gambaran, kemeja pria sutra tulis harganya berkisar antara Rp 500.000 sampai dengan Rp 2.000.000, tergantung dari jenis bahan dan kerumitan pembatikannya. Sementara untuk sutra wanita yang terdiri dari bahan busana dan selendang harganya berkisar antara Rp 500.000 sampai dengan Rp 15.000.000. Untuk Sarimbit atau setelan pasangan pria dan wanita dengan bahan sutra ATBM (alat tenun bukan mesin) dihargai Rp 2.470.000. Cukup mahal mungkin, tetapi kualitas bahan dan motif yang tiada duanya sehingga tidak akan ada orang yang memiliki motif serupa, memberi kepuasan tersendiri.

Untuk membawanya sebagai buah tangan bagi banyak teman dan kerabat, Anda dapat membeli kerajinan atau baju yang lebih murah. Batik berbahan katun bisa menjadi salah satu alternatifnya. Sebagai contoh, kemeja pria dengan batik cap dijual dengan harga Rp 37.500, sementara untuk batik tulis dihargai Rp 135.000. Pilihan lainnya adalah baju santai yang harganya berkisar antara Rp 13.000 sampai dengan Rp 75.000 .

Bila Anda tidak menemukan model atau ukuran dan motif yang kurang sesuai dengan selera Anda, tempat ini menyediakan service jahitan dengan tarif Rp 85.000 per potong. Jangan khawatir meskipun rumah Anda jauh dari Jogja. Setaman dengan super servicenya akan mengirim ke rumah anda tanpa dikenai biaya tambahan. Jadi, Anda tak perlu repot bukan? (les)



Batik Tulis Girisari Girirejo, Awet dan Berseni Tinggi

Pada sebuah acara kawinan, mempelai wanita mengenakan kain batik sidomukti, sedangkan orangtua mempelai mengenakan batik motif truntum. Kemudian pada upacara mitoni, si calon ibu tampil berbalut kebaya dengan motif asih.

Walau tampaknya sederhana, kain batik di Jawa mempunyai perannya masing-masing. Termasuk di Jogja saat ini yang masih kental dengan upacara-upacara adatnya. Dalam upacara tersebut, pakaian yang tidak pernah absentadalah batik. Batik dipakai sebagai pasangan kebaya, atau kalau yang lebih modern, kain batik disulap menjadi kemeja dan kebaya. Jogja juga menjadi surganya kerajinan batik

Memperhatikan tiap ukiran motif-motif batik, tentu kita penasaran, bagaimana membuatnya hingga menjadi lembaran kain batik tersebut. Batik sendiri sekarang tersedia dalam berbagai macam dilihat dari pembuatannya. Batik tulis, batik printing, dan batik cap. Tentu saja kualitas terbaik ada pada batik tulis. Batik yang proses dibuat secara tradisional ini jelas mempunyai seni yang tinggi. Memerlukan waktu yang lama untuk bisa mengerjakannya. Serta butuh perhatian tinggi untuk membatiknya dengan malam.

Imogiri yang kaya akan kerajinan batik tulisnya memang menyediakan banyak alternatif. Satu yang menjadi pilihan di Imogiri adalah koleksi batik tulis di Batik Girisari Girirejo. Kios batik yang dikelola oleh Bapak Slamet (46) ini menyediakan banyak pilihan kain batik tulis, terutama kain batik soga Jogja.

Bapak 2 anak ini memulai karirnya ketika masih kecil ia sudah menyukai dunia per-batikan. Ia mulai dengan belajar membatik, dan banyak mengikuti kursus-kursus batik. Awalnya ia hanya pembatik pada sebuah kios milik orang lain. Pada tahun 1985, ia bersama teman-temannya memutuskan untuk bekerja sama mendirikan kios sendiri yang menjual kain hasil karya sendiri. Hingga saat ini ia bersama 20 orang pembatik lainnya-lah yang menjadi produsen di Batik Girisari Girirejo ini.

Menurut Bapak Slamet, satu keunggulan batik tulis dibanding batik printing dan cetak adalah keawetannya, karena warna tidak cepat pudar seperti jenis lainnya. ditambahkannya lagi, dalam setiap upacara dan perayaan adat, orang akan lebih mantap dengan memakai kain dengan batik tulis. "Ini lebih pada kepercayaan dan sugesti yang dirasakan," tambahnya.

Untuk harga, sebuah kain batik tulis dihargai dari tingkat kesulitan dan detail motif lukisannya serta jenis kainnya. Di kios ini, sebuah kain batik semisal motif pringgodani, asih, dan prabu anom yang tingkat detailnya rumit, dihargai Rp 1.000.000,- sampai Rp 2.000.000,-. Namun harga ini sebanding dengan nilai seni yang didapat dari kain batik tersebut. Per lembarnya bisa dibuat hingga memakan 2 bulan waktu pengerjaan. Sedangkan untuk batik tulis lainnya, harga berkisar Rp 100.000,- ke atas.

Dari jenis kain, kios ini menawarkan kain dengan bahan sutra, prima, dan primisima. Meskipun mengandalkan batik tulis, tapi di kios ini juga ditawarkan sedikit batik printing dan batik cap yang harganya memang jauh lebih murah dibanding batik tulis. Juga ada batik modern, dengan motif yang banyak dimodifikasi dan dengan warna sintetis yang lebih beragam

Sempat kios ini menawarkan kemeja-kemeja batik jadi, namun menurut Bapak Slamet, kemeja pasarnya lebih susah. Akhirnya Bapak Slamet kembali berfokus pada kain batik tulisnya. Hingga kini, yang banyak disayangkan adalah kain batik yang penggunannya semakin berkurang. Ini disebabkan antara lain masyarakat menganggap mengenakan batik terkesan ribet, dan kesan etniknya terlalu kuat sehingga hanya cocok dipakai pada event tertentu saja. Padahal sekarang batik telah dimodifikasi sedemikian rupa agar masyarakat lebih menyukainya.

Batik Girisari Girirejo beralamat di Pajimatan RT/RW D5/6 Girirejo, Imogiri, Bantul. Juga bisa ditemui di Pasar Seni Gabusan Los4/Kav.1. Untuk menjaga keawetan kain batik, diperlukan perawatan yang khusus untuk kain batik. Tidak rumit, cukup dicuci biasa dan diangin-anginkan tanpa sinar matahari yang keras. Nah, kalau sudah beli batik, ayo berangkat ke kondangan. (opi)


Mari Mengenal Batik: Pudarnya Pemaknaan Motif Batik

Berbicara soal batik memang selalu identik dengan masyarakat Jawa. Hal ini tentunya tak lepas dari adanya motif atau gambar pada kain yang berasal dari kerajaan di wilayah Jawa. Namun barangkali tak banyak orang (terutama kaum muda) yang mengetahui bagaimana asal muasal adanya batik ini. Apalagi mengenal lebih jauh mengenai berbagai jenis motif dan juga filosofinya.

Untuk itu, dengan tuntunan seorang kurator museum batik saya akan mengajak Anda untuk sedikit mengupas aneka motif tradisional yang sampai dengan saat ini masih banyak digunakan oleh masyarakat jawa tersebut. "Sebenarnya batik mulai dikenal masyarakat karena aturan dari raja yang dianggap sebagai wakil dewa pada masa 1927-an," ungkap Drs. Bejo Haryono alias Pak Bejo memulai obrolan tentang batik.

"Kalau berbicara soal motif, sangat luas. Karena kita berpacu pada beberapa sumber yang harus kita ungkap." Misalnya saja Sewan Soesanto, ia membagi batik dalam sembilan kelompok berdasarkan nama, yakni lereng, semen, parang, truntum, kawung, gringsing, ceplok, nitik, motif pinggiran, dan terang bulan. Sementara berdasarkan balai penelitian batik, motif itu terbagi menjadi tiga kelompok, motif figuratif, semi figuratif, dan non figuratif. Pengelompokan yang lain adalah berdasarkan warna, yakni bambangan (merah), bangjo (merah-hijau), dan kelengan (ungu). Sebagian lagi mengelompokkan batik berdasarkan pembatiknya sendiri seperti, Wan Tirto dan Harjo Negoro.

"Namun secara umum batik terbagi dua macam, yakni geometris dan non geometris. Ini menurut Vanderhoop," sambung bapak dua anak ini. Motif geometris atau yang berdasarkan ilmu ukur dapat kita lihat pada batik yang gambarnya garis-garis seperti kawung, parang, dan panji. "Secara filosofi, batik ini menggambarkan adanya birokrasi pada pemerintahan. Ada keteraturan dari raja sampai dengan rakyat, atau istilahnya manunggaling kawula gusti."

Sementara motif non geometris yang lebih bebas dapat ditemukan pada batik semen, atau yang bergambar binatang, tanaman, hutan, dan sejenisnya. "Ya, itu menggambarkan kehidupan semen, yakni kehidupan yang semi. Semi itu tumbuh, tumbuh itu berkembang. Nah, orang yang memakai batik ini mempunyai harapan bahwa dalam kehidupannya akan tercukupi dengan sandang, pangan, dan papan," lanjut cerita Pak Bejo sembari menunggu museum yang sepi pengunjung.

"Dalam perkembangannya, orang memakai batik bukan karena makna atau filosofinya, namun lebih pada kepantasan atau keindahan saja." Ketidakteraturan tersebut terlihat dari banyaknya anak-anak muda sekarang memakai batik parang dan kawung. Padahal sebenarnya batik motif ini tidak boleh dipakai masyarakat umum, karena hanya diperuntukkan bagi kerabat kraton. "Parang itu hanya untuk raja. Ini mengacu pada hukum adat yang memang tidak tertulis," jelasnya lagi.

Ini bukan mutlak kesalahan dari para generasi muda. Karena, bahkan di lingkungan kraton yang merupakan akar tumbuhnya batik pun pemaknaan ini mulai memudar. Walaupun memang masih ada pemakaian berdasarkan penggolongan itu, tapi tetap ada pemudaran. "Padahal kalau ditinjau dari sejarah, batik ini kan muncul dan berawal dari kerjaan sampingan para selir yang jenuh karena menunggu kunjungan sang raja. Setelah itu baru dikembangkan oleh para seniman kerajaan dan disebarkan oleh para saudagar. Batik saudagaran inilah yang ditiru pabrik dan kemudian menyebar di masyarakat," ungkap bapak kelahiran 1948 ini. (les)



Kipas Batik Kipas Seni, Lebih dari Sekedar Kipas

Jika Anda berkunjung ke Jl. Tirtodipuran, jelas Anda akan mendapati jejeran galeri-galeri yang menjual barang seni. Tapi, cobalah juga untuk masuk ke perkampungannya. Di antara gang-gang kecil, Anda juga bisa menemukan barang yang juga layak untuk dijadikan oleh-oleh, yaitu kipas.

Terletak di Mangkuyudan MJ III/215, Jogja, Kipas Seni menjadi pusat pengrajin kipas. Kipas yang ditawarkan bermacam-macam dan merupakan kipas dengan bahan kain kain batik. Selain kipas dengan bentuk biasa, juga ada kipas topi. Kipas tersebut selain digunakan untuk mengusir hawa panas, juga bisa digunakan sebagai hiasan dinding.

Bahan yang digunakan untuk kipas adalah bambu wulung sebagai kerangkanya dan kain batik. Kain batik yang digunakan Kipas Seni didatangkan dari Delanggu. Sedangkan bambunya dari pengrajin di Bantul. jika tidak ingin menggunakan kain batik, kita juga bisa meminta untuk mengganti bahan kainnya. Ibu Dewi (37), pemilik Kerajinan Kipas Seni mengatakan bahwa jenis kain yang digunakan juga disesuaikan dengan order dari pembeli.

Memang, selain dijual dan dipasarkan melalui galeri-galeri dan toko-toko batik di Jogja, Kipas Seni juga kerap mendapat pesanan. Tak tangung-tanggung pesanan datang dari Jakarta, hingga negara lain seperti Malaysia, Italia, Belanda dan Singapura. Tapi menurut Ibu Dewi, hingga saat ini Kipas Seni paling banyak mengirimkan barang ke Kalimantan.

Kebanyakan pembeli datang melalui pesanan, dan kebanyakan kipas digunakan sebagai souvenir. Produk-produk dari Kipas Seni juga bisa didapatkan di Batik Plentong, Batik Luwes-Luwes, dan Batik Setaman. Kipas Seni yang mulai dikelola Ibu Dewi sejak 1999 ini, sekarang mempunyai sekitar 5 orang pekerja yang semuanya perempuan. Mereka yang bekerja juga adalah tetangga-tetangga terdekat. Semua proses produksi dilakukan oleh para ibu-ibu ini, seperti menyablon, membuat pola, hingga finishing-nya,

Kipas yang ditawarkan beragam ukurannya, mulai dari yang paling kecil dengan ukuran 15 cm, dihargai Rp 1000,- hingga yang paling besar dengan ukuran 40 cm dihargai Rp 45.000,-. "Kami juga pernah membuat kipas dengan ukuran 1,5 meter, tapi itu kami buat hanya jika ada pesanan saja," tutur Diah, salah satu pekerja di Kipas Seni. Selain kipas sebagai produk andalannya, Kipas Seni juga memproduksi lilin hias, namun lilin hias tersebut hanya diproduksi jika ada pesanan saja. (opi)




Batik dalam Tata Cara Pernikahan Jawa

Kain batik memang tak asing lagi bagi masyarakat Jawa terutama Jogja. Dalam berbagai acara, kain-kain ini sering menjadi pakaian resmi yang menunjukkan kekhasan daerah, begitu juga dalam upacara-upacara adat tertentu seperti perkawinan. Kain-kain bermotif unik dan tradisional ini dikenakan oleh hampir seluruh keluarga dan kerabat untuk menyambut hari bahagia, bersatunya dua manusia.

Sebelum dipersatukan dalam ikatan perkawinan yang sering disebut dengan istilah ijab, kedua calon pengantin dipingit (tidak diijinkan untuk bertemu). Sehari sebelumnya kedua mempelai harus menjalani upacara siraman (mandi kembang) di tempat masing-masing. Menurut salah satu empu rias pengantin, R. Sri Supadmi, kain yang digunakan dalam upacara ini tak boleh sembarangan. "Mereka harus menggunakan kain putih. Tetapi karena kain ini tembus pandang maka di dalamnya harus dilapisi batik," ungkap seorang ibu yang pernah menjadi penata rias di keraton selama pemerintahan HB IX ini.

Motif batik yang digunakan dalam upacara ini juga harus dipilah-pilah. Pada dasarnya banyak motif seperti sidoasih dan sidomukti yang dapat digunakan, tetapi ada beberapa motif yang menurut Bu Padmi memang menjadi pantangan karena maknanya yang kurang bagus. Motif itu antara lain parang rusak dan parang barong yang dipercaya dapat merusak.

Setelah disiram oleh orang tua dan penata rias yang juga menjadi dukun manten, calon pengantin perempuan dipersiapkan untuk menjalani malam midodareni. Ia kemudian harus mengenakan batik motif grompol, bermakna mengumpulkan. Pada malam midodareni, selain dirias dan mengenakan batik motif truntum yang bermakna tumbuh, pengantin perempuan sebenarnya tak boleh keluar kamar sama sekali. Namun menurut Bu Padmi yang banyak meraih penghargaan dari departemen kebudayaan ini, semua telah banyak berubah sekarang.

Perubahan itu bukan hanya terlihat dari pengantin yang tak lagi betah berada di kamar kemudian jalan-jalan keluar dan menemui tamu, tetapi juga pada pemakaian motif batik. Pada malam midodareni sekarang ini pengantin diperbolehkan untuk mengenakan motif lain seperti sidomukti dan semen (yang disamaartikan dengan semi). Selain itu juga sering terjadi pergeseran pemakaian motif batik pada orang tua mempelai yang menggunakan truntum yang diambil dari kata tumaruntum atau bertumbuh.

Pada waktu mengikat janji pernikahan atau ijab, motif batik yang digunakan juga fleksibel. Mereka dapat mengenakan berbagai motif entah itu sido mukti, sido asih maupun semen. Parang rusak, parang barong dan kawung besar tetap menjadi pantangan. Hal ini karena parang rusak berkonotasi negatif, parang barong hanya diperkenakan untuk para raja, sementara kawung besar adalah milik ahli agama.

Diakui oleh Supadmi yang menjadi perias bersama suaminya, R. Suwardanidjaja, bahwa memang tak semua orang tau akan hal ini. Untuk itulah setelah menjuarai lomba rias pengantin tiga kali berturut-turut pada tahun 1979, 1981, dan 1983, ia bersama suami kemudian membuat sebuah buku "Tata Rias Pengantin Gaya Yogyakarta" yang diterbitkan oleh gramedia.

Cara lain yang ditempuh oleh wanita yang terilhami untuk menjadi perias sejak kecil ini guna melestarikan budaya pernikahan adalah dengan membuka kursus bagi siapa saja yang ingin menjadi seorang perias pengantin. Selain belajar merias mulai dari membuat paes yang benar, peserta juga akan diajari menjalankan tata upacara pernikahan dengan berbagai urutan dan makna serta cara pelaksanaannya. (les)

Kursus Batik, Tambah Ketrampilan dan Lestarikan Budaya

Siapa tak kenal batik. Kerajinan khas Jogja ini memang sudah tidak asing lagi. Dengan mudah kita dapat menemukannya di seantero Jogja. Mulai dari pasar tradisional Beringharjo sampai dengan mall-mall besar Jogja. Ya, batik memang unik. Tak salah bila warisan leluhur ini menjadi primadona di kalangan turis. Banyak orang tertarik untuk membelinya, baik sebagai oleh-oleh maupun untuk koleksi pribadi.

Namun, pernahkah terlintas dalam benak Anda bagaimana cara membuat batik?

Membuat batik memang gampang-gampang susah. Tak perlu keahlian khusus hingga siapapun bisa mencobanya. "Timbulkan niat dan kerahkan kreativitas," ungkap Purnomo pemilik salah satu sanggar batik yang berlokasi di kawasan wisata Tamansari.

Sanggar yang didirikan sejak 1970 ini sudah banyak dikenal oleh turis manca maupun domestik. Berawal dari keinginan pemuda setempat untuk mendapatkan penghasilan, sanggar batik miliknya akhirnya bisa menampung banyak tenaga kerja. "Awalnya kami hanya membuat kaos batik dan baru membuka kursus batik pada tahun 1986. Melalui kursus saya bisa berbagi ilmu sekaligus melestarikan batik," jelas Purnomo yang mengaku sebagai generasi ketiga pemilik sanggar.

Siswa yang belajar membatik berasal dari berbagai kalangan. Mulai dari turis, pelajar, mahasiswa, hingga ibu rumah tangga. Tujuan mereka juga berbeda-beda. Kalau siswa yang berasal dari kalangan turis biasanya mereka hanya sekedar ingin tahu dan membawa batik sebagai kenangan-kenangan. Waktu kursusnya pun tidak lama, hanya sehari bahkan ada yang tiga jam saja. Lain lagi dengan pelajar atau mahasiswa. Alasan kedatangan mereka ke sanggar batik relatif sama, yaitu sebagai tugas akhir sekolah atau kampus. Kalau yang satu ini cukup lama yaitu sekitar satu minggu. Batik yang mereka buat nantinya akan dipamerkan bahkan ada yang laku terjual. Hmm, serasa menjadi seniman.

Proses pembuatan batik ada yang sederhana dan ada juga yang rumit. Lamanya proses pembuatan tergantung dari ukuran dan komponen warna. Semakin banyak warna yang digunakan akan semakin lama prosesnya. Langkah awal pembuatan batik adalah penggambaran sketsa pada media batik. Kemudian dengan menggunakan canthing sketsa gambar dilapisi dengan malam/lilin yang telah masak. Proses ini diperlukan ketelitian dan kesabaran supaya hasilnya rapi dan bersih. Setelah itu kain yang sudah di-malam masuk proses pewarnaan. Tekniknya beragam seperti teknik celup, teknik usap, dan teknik colet. Selanjutnya adalah proses merebus kain. Langkah ini dilakukan untuk menghilangkan malam. Lalu, kain batik yang telah direbus harus dijemur atau diangin-angin. Tunggu hingga kering dan jadilah kain batik.

Sepertinya tidak susah membuat batik. Biaya yang dikeluarkan untuk kursus pun juga tidak mahal. Hanya perlu merogoh kocek sebesar Rp 50.000,- untuk kursus selama satu hari. Kalau untuk seminggu, ya tinggal kalikan saja. Tapi jangan khawatir, harga tersebut bukan harga pakem, masih bisa ditawar. Apalagi bila datang bersama teman atau keluarga. Sepertinya menyenangkan juga bila belajar membatik beramai-ramai. Tertarik untuk mencoba? Datang saja ke kawasan wisata Tamansari, sanggar-sanggar batik buka setiap hari bahkan ada yang non-stop 24 jam. Yah, hitung-hitung tambah ketrampilan sambil melestarikan warisan para leluhur. (ayu)


Berwisata di Museum Batik Yogyakarta, Pelajari Warisan Budaya (cultural heritage)

Jogja tidak hanya terkenal dengan gudeg. Ada lagi kekhasan lain yang dimiliki kota pelajar ini. Tak lain tak bukan adalah batik. Sampai saat ini peninggalan budaya ini masih coba dipertahankan dengan berbagai macam cara. Salah satunya dengan menyimpan dalam sebuah museum, yaitu Museum Batik Yogyakarta.

Lokasinya yang cukup dengan pusat kota, di Jl. DR. Sutomo 13-A, Jogja, memberikan kemudahan bagi para pelancong untuk dapat menjangkau obyek wisata ini. Setiap harinya, museum ini buka dari hari Senin sampai dengan Sabtu, mulai dari pukul 09.00 - 12.00 WIB dan pukul 13.00 - 15.00 WIB. Sedangkan hari Minggu dan hari besar lainnya, Museum Batik Yogyakarta ikut libur.

Sejak pertama kali didirikan, museum ini ingin berusaha melestarikan salah satu seni budaya dalam hal pengelolaan tradisi berpakaian. Selain itu Museum Batik Yogyakarta ingin memberikan gambaran kepada generasi saat ini dan yang akan datang tentang seni budaya bernilai tinggi yang dimiliki bangsa Indonesia, khususnya dalam hal seni budaya batik.

Berdiri sejak 12 Mei 1979, Museum Batik Yogyakarta merupakan salah satu museum batik yang mempunyai koleksi terlengkap dari berbagai daerah, Jogja, Solo, hingga Pesisir. Mulai koleksi batik yang berumur sangat tua sampai batik yang pembuatannya diolah secara modern.

Beberapa koleksinya adalah Kain Panjang Soga Jawa (1950-1960), Kain Panjang Soga Ergan Lama (th tidak tercatat). Sarung Isen-isen Antik (1880-1890), Sarung Isen-isen Antik (kelengan) (1880-1890) dan Sarung Panjang Soga Jawa (1920-1930). Ada yang unik, semua koleksi yang ada dalam museum ini merupakan koleksi yang dimiliki oleh keluarga pendiri Museum Batik Yogyakarta.

Walau museum ini memang hampir seluruh koleksinya di dominasi oleh koleksi batik, namun ternyata Museum Batik Yogyakarta juga menyimpan koleksi lain yang tak kalah menarik. Koleksi lain itu adalah sulaman. Biasanya sulaman itu bergambar pahlawan nasional serta pahlawan internasional. Meski koleksinya tak sebanyak koleksi batik, koleksi sulaman tetap menarik juga untuk diamati.

Di Museum Batik Yogyakarta, ada penawaran menarik lainnya bagi pengunjung. Mereka yang ingin belajar membatik bisa mewujudkan keinginannya itu. Pihak museum menyediakan jasa untuk kursus membatik. Per paket dikenai biaya Rp 250.000,- untuk 5 kali pertemuan. Sedangkan untuk per jamnya dikenakan biaya Rp 25.000,-. Enaknya lagi, jadwal kursus bisa disesuaikan oleh keinginan pengunjung, asal menurut jam kerja dari museum ini.

Selain itu, bagi pengunjung yang ingin tertarik untuk memiliki beberapa koleksi yang ada di museum ini. Disediakan pula beberapa koleksi yang siap dibawa pulang. Untuk melihat keselurahan koleksi, pengunjung dikenakan tarif sebesar Rp 15.000,-. Bagi para wisatawan yang akan berkunjung ke Jogja, atau masyarakat Jogja sendiri, museum ini bisa menjadi alternatif untuk berlibur. Menyenangkan bukan, melancong sekaligus memperoleh pengetahuan baru. Selamat berkunjung!

Kawasan Jeron Benteng

Catatan:
Artikel ini merupakan transkrip sebagian naskah video dokumenter berjudul “ Beginner’s Guide to Jogja “
(Sutradara: Agus Yuniarso; Produksi: Galeri Video Foundation, Yogyakarta, 2006; total durasi: 26 menit)

Istilah Jeron Benteng biasa dipakai untuk menyebut kawasan di bagian dalam benteng yang mengelilingi Keraton Kasultanan Yogyakarta, yang menjadi situs pusaka budaya utama di Kota Jogja. Kawasan ini memiliki pola tata ruang yang khas, bangunan-bangunan bersejarah, serta pola tata nama yang masih lestari sejak pertama kali adanya sejak satu dua abad yang lampau.
Selain Keraton Kasultanan Yogyakarta yang sudah sangat termashur, apa yang menarik di kawasan Jeron Benteng ? Berbagai situs pusaka budaya dengan suasana menariknya dapat kita jumpai di kawasan Jeron Benteng. Yang paling menarik dan pantas dikunjungi pertama kali, sudah tentu adalah Pesanggrahan Tamansari.
Pesanggrahan Tamansari yang juga disebut watercastle adalah sebuah istana di atas air yang mulai dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1758. Pada masa jayanya, Tamansari memiliki sekitar 57 bangunan, terdiri dari danau buatan, gedung, gapura, masjid, kolam, lorong, serta kebun-kebun yang ditanami bebuahan, bunga-bunga serta rempah-rempah. Meski sebagian besar bangunan sudah kehilangan wujudnya, namun sisa-sisa keindahan Tamansari masih bisa kita saksikan hingga hari ini.
Pasar Ngasem dapat kita jumpai hanya beberapa langkah dari Tamansari. Meski lebih dikenal sebagai pasar burung, Pasar Ngasem sebetulnya juga sebuah pasar yang menjual berbagai kebutuhan sehari-hari sebagaimana pasar tradisional pada umumnya. Para pedagang pasar tradisional yang berdampingan langsung dengan para penjual burung, ikan hias dan berbagai binatang peliharaan, menciptakan keramaian khas yang hanya ada di Pasar Ngasem. Karena itulah pasar ini tidak pernah sepi dari pengunjung, sedari pagi hingga sore hari.
Alun-alun yang berada di sebelah selatan atau belakang Keraton ini, lazim disebut Alun-alun Kidul. Dahulu juga disebut dengan nama Alun-alun Pengkeran, yang artinya Alun-alun sebelah belakang. Pada jamannya, tempat ini menjadi ajang dimana para prajurit berlatih ketangkasan, ilmu beladiri atau menunggang kuda. Ada sebuah kepercayaan, jika seseorang berhasil berjalan melintasi ruang diantara 2 Pohon Beringin dengan mata tertutup, maka keinginannya akan terkabulkan. Ini membuahkan atraksi khas di Alun-alun Kidul, yang dikenal dengan istilah Masangin.
Alun-alun Kidul tidak pernah sepi. Pada siang hari, sejumlah pedagang barang bekas atau klithikan berjajar menjajakan dagangannya. Setelah sore hari, alun-alun ini berubah menjadi arena olah raga. Pada saat yang sama, kebe-radaan kandhang gajah yang ada di sisi barat menjadi magnet bagi warga kota untuk menghabiskan waktu bersama anak-anaknya, dan menyulap tempat ini menjadi arena bermain bagi anak-anak. Malam hari pun suasana di Alun-alun Kidul tidak pernah sepi dengan sederetan pedagang lesehan yang menjajakan wedang ronde dan roti bakar.
Di seputar Jeron Benteng juga banyak jumpai sejumlah dalem, yaitu bangun-an yang menjadi tempat tinggal para pangeran dan kerabat utama Sultan. Dalem-dalem itu biasanya diberi nama sesuai dengan nama bangsawan yang menempatinya. Salah satunya adalah Dalem Kaneman yang dibangun pada tahun 1855 pada masa pemerintahan Sultan hamengku Buwono VII. Dalem yang berada di sebelah barat Tamansari ini, saat ini ditempati oleh Gusti Kanjeng Ratu Anom Brata, putri pertama Sultan Hamengku Buwono IX. Dalem ini sering digunakan untuk kegiatan seni tari klasik yang dikelola oleh Yayasan Among Beksa.
Tak seberapa jauh dari Dalem Kaneman terdapat Dalem Mangkubumen yang dibangun pada tahun 1865 oleh Sultan Hamengku Buwono VI sebagai tempat tinggal putra mahkota atau Pangeran Adipati Anom. Dalem ini sekarang dipergunakan sebagai kampus Universitas Widya Mataram. Sementara Dalem Pakuningratan yang berada di sebelah timurnya, dibangun secara bertahap antara tahun1877 hingga 1921 pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII. Dalem ini juga mencatat sejarah sebagai tempat kelahiran Gusti Raden Mas Daradjatoen, yang kemudian bertahta sebagai Sultan Hamengku Buwono IX. Tempat ini juga pernah dipergunakan sebagai Kampus Akademi Seni Drama dan Film atau ASDRAFI yang legendaris itu.
Sejumlah dalem lainnya tersebar di sejumlah tempat di Kawasan Jeron Benteng. Sebagian masih berfungsi sebagai tempat tinggal para bangsawan Keraton. Sementara sebagian yang lainnya telah berpindah tangan dan berganti fungsi. Suasana dan keberadaan perkampungan di Kawasan Jeron Benteng, juga menjadi salah satu wujud pusaka budaya Kota Jogja. Nama-nama kam-pung itu biasanya diambil dari nama dan tugas para abdi dalem Keraton. Abdi dalem yang menjalankan tugas sehari-hari di lingkungan Keraton, umumnya memang tinggal di dalam lingkungan benteng, agar mereka dapat segera hadir pada saat tenaganya dibutuhkan.
Abdi dalem yang bertugas untuk mempersiapkan teh atau minuman misalnya, tinggal di sebelah selatan Tamansari yang dikenal sebagai Kampung Patehan. Sementara abdi dalem silir yang bertugas merawat dan membersihkan perabotan rumah tangga seperti mebel dan lampu-lampu Keraton ditempatkan di sebelah timur Alun-alun Kidul yang dikenal sebagai Kampung Siliran. Begitu pun para pemelihara kuda atau gamel serta para penabuh tambur, yang tinggal di Kampung Gamelan dan Kampung Namburan. Disini juga terdapat kampung yang dahulu diperuntukkan bagi tempat tinggal sebagian prajurit Keraton, yaitu Kampung Langenastran dan Kampung Langenarjan.

Titik Nol Kilometer Kota Jogja

Catatan:
Artikel ini merupakan transkrip sebagian naskah video dokumenter berjudul “ Beginner’s Guide to Jogja “ (Sutradara: Agus Yuniarso; Produksi: Galeri Video Foundation, Yogyakarta, 2006; total durasi: 26 menit)

Di mana lokasi titik nol kilometer Kota Jogja ? Sebagian orang akan langsung menjawab Tugu Pal Putih, yang menjadi simbol Kota Yogyakarta. Sebagian yang lain akan menjawab Keraton, karena inilah cikal bakal keberadaan Kota Jogja. Ada pula yang menyebut Alun-alun Utara, di antara 2 Pohon Beringin di tengahnya. Ada banyak kemungkinan jawaban. Lalu, di mana kira-kira tepatnya ? Secara keseluruhan, bisa dianggap posisi titik ini berada di lintasan dari Alun-alun Utara hingga Ngejaman di ujung selatan Malioboro. Tapi se-buah titik nol kilometer tidak mungkin berada pada kemungkinan yang terlalu lebar.
Sebuah papan peringatan resmi yang terpampang di depan bekas bangunan Senisono, ternyata bisa menjadi petunjuk dimana tepatnya titik nol kilometer itu berada. Titik paling sentral itu tentu berada di sekitar perempatan jalan di depannya, bukan pada tempat dimana papan peringatan itu berdiri. Sekitar tahun 70 hingga awal 80-an, di tengah perempatan ini masih terdapat sebuah air mancur kota. Dari sinilah kemungkinan nol kilometer berada dan menjadi titik pangkal yang dipakai untuk menarik garis jarak antara Kota Yogyakarta dengan kota atau wilayah lain.
Terlepas dari dimana tepatnya titik nol berada, kawasan antara Alun-alun Utara hingga Ngejaman yang berada di ujung selatan Malioboro merupakan kawasan khas yang menjadi pusaka budaya utama Kota Jogja. Meski keramaian kota telah melebar ke segala arah, kawasan ini tetap eksis dengan romantisme kultural-historis yang begitu khas. Struktur tata bangunan utama serta suasana keramaiannya tidak banyak berubah, setidaknya sejak jaman kolonial satu hingga dua abad yang lampau.
Di Kawasan Titik Nol Kilometer ini berdiri sejumlah bangunan tua bersejarah yang bukan hanya menjadi saksi perjalanan sejarah kota Jogja, namun juga menjadi bagian penting dari sejarah Republik Indonesia.
Kita mulai penjelajahan dari sisi paling utara. Di depan Gereja Protestan di sebelah utara Gedung Agung, berdiri sebuah jam kota atau stadsklok. Area di seputarnya yang dahulu bernama Jalan Margomulyo ini lazim disebut Nge-jaman. Jam ini didirikan tahun 1916, sebagai persembahan masyarakat Belan-da kepada pemerintahnya untuk memperingati satu abad kembalinya Peme-rintahan Kolonial Belanda dari Pemerintahan Inggris yang sempat berkuasa di Jawa pada awal abad ke-19. Namun prasasti kecil yang menunjukkan tulisan itu kini telah dihilangkan.
Bangunan yang mempunyai halaman paling luas di sepanjang ruas dari Kera-ton hingga Tugu kota Jogja adalah Istana Kepresidenan Gedung Agung. Ge-dung yang selesai dibangun pada tahun 1832 ini, dipakai sebagai tempat ting-gal para Residen dan Gubernur Belanda di Yogyakarta. Bangunan ini sempat rusak berat pada saat terjadinya gempa bumi besar pada tahun 1867. Pada jaman penjajahan Jepang menjadi kediaman resmi Koochi Zimmukyoku Tyookan, penguasa Jepang di Kota Jogja. Dari tahun 1946 hingga 1949, gedung ini menjadi tempat kediaman resmi Ir. Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama, pada saat Kota Jogja menjadi ibukota Republik Indonesia. Kini, Gedung Agung adalah salah satu Istana Presiden Republik Indonesia yang berada di luar kota Jakarta. Gedung Agung adalah bangunan yang sarat nilai sejarah, karena menjadi saksi berbagai peristiwa penting di Kota Jogja.
Benteng Vredeburg berada tepat di depan Gedung Agung. Bangunan yang menjadi markas tentara pada jaman kolonial Belanda ini, sekarang berfungsi sebagai museum dengan nama Museum Benteng Vredeburg. Benteng ini dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1760 atas permintaan orang-orang Belanda. Bangunannya yang sederhana kemudian disem-purnakan pada tahun 1787 dan kemudian diberi nama Benteng Rustenburg yang artinya benteng peristirahatan. Bangunan ini juga sempat rusak berat pada saat terjadinya gempa bumi besar pada tahun 1867. Setelah dilakukan pembenahan, namanya kemudian diganti menjadi Benteng Vredeburg, yang berarti benteng perdamaian. Masyarakat Jogja tempo dulu menyebut benteng ini dengan nama Loji Gedhe, sementara barak-barak tentara di belakangnya disebut Loji Cilik. Gedung Agung yang berada tepat didepannya, karena memiliki taman yang luas, disebut sebagai Loji Kebon.
Di sisi timur Jalan Kyai Haji Ahmad Dahlan, dahulu berdiri sebuah toko bernama NV Toko Europe, yang menyediakan barang-barang impor untuk keperluan orang-orang Belanda. Setelah masa kemerdekaan, bekas bangunan toko ini dipergunakan oleh sejumlah kantor, diantaranya sebagai Kantor kementrian Penerangan, Kantor Persatuan Wartawan Indonesia, serta per-wakilan Kantor Berita Antara.
Di sebelah timurnya, dahulu berdiri Gedung Societet de Vereeniging atau Balai pertemuan yang dikenal masyarakat Jogja dengan nama Balai Mataram. Tempat ini merupakan tempat rekreasi orang-orang Belanda.Billyard adalah salah satu permainannya, sehingga gedung ini juga disebut Kamar Bola. Pada tahun 50-an, gedung ini digunakan sebagai bioskop rakyat dengan nama Senisono. Bioskop ini kemudian pindah ke salah satu sudut Alun-alun Utara dan berganti nama menjadi Soboharsono, yang saat ini telah berubah fungsi menjadi galeri seni. Hingga akhir tahun 80-an, Senisono menjadi pusat kegiat-an seni budaya di Kota Jogja. Bekas NV Toko Europe dan Gedung Senisono telah diputar dan saat ini menjadi bagian dari Istana Kepresidenan Gedung Agung.
Di sudut barat daya Benteng Vredeburg, berdiri sebuah monumen yang didi-rikan untuk mengenang peristiwa Serangan Umum yang dilancarkan para pejuang Republik Indonesia terhadap pendudukan Belanda pada pada tanggal 1 Maret 1949.
Bangunan bertingkat yang masih berdiri kokoh di sisi selatan jalan ini seka-rang dipergunakan sebagai Kantor Bank BNI. Pada jaman kolonial, gedung ini dipergunakan sebagai Kantor Asuransi Nill Maattschappij dan Kantor de Javasche Bank. Lantai bawah gedung ini, pada Jaman Jepang dipergunakan sebagai Kantor Radio Hoso Kyoku, Pada awal kemerdekaan studiodigunakan sebagai Studio Siaran radio Mataram yang dikenal dengan nama MAVRO.
Di sebelang timur Gedung Bank BNI, saat ini berdiri Kantor Pos Besar Yog-yakarta. Pada jaman Kolonial Belanda, fungsinya tidak jauh berbeda, yaitu sebagai kantor pos, telegraf dan telepon. Disebelah timur gedung ini berdiri Kantor Perwakilan Bank Indonesia. Dahulu dipergunakan sebagai kantor de Indische Bank.
Di depan bekas Gedung Senisono, saat ini terdapat sebuah monumen yang mengabadikan telapak tangan sejumlah tokoh Kota Jogja. Monumen yang diresmikan pada tahun 2003 ini dinamakan Monumen Tapak Prestasi Kota Yogyakarta.

Gunungan Ciri Khas Upacara Garebeg

Upacara Garebeg di Kasultanan Yogyakarta diselenggarakan 3 kali dalam satu tahun pada bulan Syawal, bulan Besar dan bulan Maulud dalam penanggalan Jawa, bertepatan dengan hari-hari besar Islam. Upacara Garebeg Maulud yang diselenggarakan setiap tanggal 12 bulan Maulud – yang bertepatan dengan bulan Rabi’ul Awal dalam penanggalan Islam, merupakan puncak perayaan Sekaten yang diselenggarakan di Keraton Kasultanan Yogyakarta untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Ciri khas upacara Gerebeg ditandai dengan ditampilkannya hajad dalem atau sedekah berupa sesajian berbentuk tumpeng besar yang terbuat dari aneka bahan makanan, seperti beras ketan, telur, bebuahan serta sayur-sayuran. Karena bentuknya yang menyerupai gunung, sesajian ini kemudian diberi nama Gunungan, yang melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan Kasultanan dan rakyat Yogyakarta.

Sedekah Gunungan merupakan salah satu wujud sesajian selamatan yang secara khusus dibuat untuk disajikan dalam wilujengan nagari atau selamatan negara yang menjadi hajad utama dalam penyelenggaraan setiap Upacara Garebeg Maulud. Biasanya, terdapat 6 macam Gunungan, yaitu : Gunungan Lanang, Gunungan Wadon, Gunungan Gepak, Gunungan Pawuhan dan Gunungan Dharat yang selalu disajikan dalam setiap Garebeg Maulud, serta Gunungan Kutug yang hanya disajikan setiap 8 tahun sekali pada Garebeg Maulud tahun Dal.

Gunungan yang selalu ditampilkan dalam Upacara Garebeg, merupakan salah satu bentuk ungkapan khas Jawa berkaitan dengan simbolisasi kesuburan, kultur agraris berikut sifat-sifat magisnya. Pada jaman dahulu, Gunungan yang dibuat dalam Garebeg Maulud bisa mencapai 30 buah, yang terdiri dari 10 Gunungan Lanang, 4 buah Gunungan Wadon, 4 buah Gunungan Pawuhan, 4 buah Gunungan Dharat, dan 8 buah Gunungan Gepak. Untuk itu, Keraton membuat sepasang bangunan yang disebut Panti Pareden di Halaman Kemagangan, yang secara khusus dipergunakan untuk membuat Gunungan.

Proses pembuatan Gunungan diawali dengan Upacara Tumplak Wajik di Panti Pareden Halaman Kemagangan yang diselenggarakan 2 hari menjelang dilaksanakannya Garebeg Maulud, pada sore hari selepas Sholat Ashar. Upacara yang disertai dengan persembahan aneka sesajian ini merupakan bentuk upacara selamatan untuk menolak berbagai kemungkinan gangguan selama berlangsungnya proses pembuatan Gunungan.

Pada jaman dahulu, upacara ini harus disaksikan oleh salah seorang pembesar atau Pengageng Keraton yang menjadi utusan Sultan. Para abdi dalem Keraton yang khusus bertugas dalam pembuatan Gunungan pun harus dalam keadaan suci dan mematuhi berbagai pantangan, termasuk kewajiban untuk melakukan puasa dan sejumlah ritual tertentu terlebih dahulu. Seiring dengan perkembangan jaman, sejumlah tradisi ritual tampaknya semakin disederhanakan, sebagaimana jumlah Gunungan yang tidak lagi sebanyak pada masa lalu.

Upacara Tumplak Wajik diutamakan pada pembuatan Gunungan Wadon yang menjadi simbol kesuburan dalam proses penciptaan. Untuk itu dipersembahkan aneka rupa sesajian yang berkaitan dengan kosmetika tradisional seperti cermin, sisir, bedak boreh atau lulur, sirih, serta kain mori dan semekan atau kain penutup dada. Sementara sebagai penjaga keselamatan, disajikan sebuah kain dengan motif kuno bernama Bangun Tulak, yang dipercaya memiliki kekuatan magis untuk menolak bala.

Upacara Tumplak Wajik selalu disertai dengan iringan musik kothekan atau gejogan, berupa bebunyian yang ditimbulkan dengan cara memukul atau menabuh lesung alu penumbuk padi, kenthongan, serta berbagai piranti yang terbuat dari kayu. Tetabuhan ini memiliki lagu dan irama khas tertentu seperti Gendhing Lompong Keli, Tundhung Setan dan Owal-awil, yang memiliki mak-na magis sebagai penolak bala.

Meski dalam satu tahun, Keraton menyelenggarakan tiga kali upacara Garebeg, namun Upacara Tumplak Wajik ini hanya diselenggarakan 2 kali, pada bulan Besar dan bulan Maulud saja.

Setelah Upacara Tumplak Wajik selesai, proses pembuatan Gunungan dilanjutkan selama 2 hari hingga malam menjelang dilaksanakannya Upacara Garebeg Maulud.

Sejumlah tradisi ritual semakin disederhanakan dan prosesi pembuatan Gunungan barangkali tidak lagi sekhidmat jaman dahulu. Namun antusiasme dan harapan masyarakat untuk memperoleh berkah dari Gunungan tetap saja ada, termasuk pada saat proses pembuatannya.

Riwayat Prajurit Keraton Kasultanan Yogyakarta

Oleh: Agus Yuniarso

19_riwayat_prajurit.jpg

Pada paruh akhir abad ke-18, Keraton Kasultanan Yogyakarta memiliki pasukan bersenjata yang cukup disegani kekuatannya. Pasukan ini terdiri dari pasukan infanteri dan kavaleri yang sudah dilengkapi dengan senapan api dan meriam, disamping berbagai senjata tradisional seperti pedang, tombak dan panah. Adanya pasukan ini tidak terlepas dari keberadaan para prajurit dan laskar-laskar rakyat yang menjadi pendukung setia Pangeran Mangkubumi yang di kemudian hari bertahta sebagai Sultan Hamengku Buwono I. Menjelang berdirinya Kasultanan Yogyakarta, kekuatan bersenjata dibawah pimpinan Pangeran Mangkubumi, diakui kekuatannya saat menghadapi berbagai pemberontakan di Kasunanan Surakarta. Pasukan ini juga gigih melakukan perlawanan terhadap tentara Kompeni Belanda. Dalam sebuah pertempuran di nJenar di wilayah Bagelen misalnya. Komandan pasukan Belanda bernama Mayor Klerck berhadapan langsung dengan abdidalem Mantrijero bernama Wiradigda. Tombak Wiradigda berhasil menusuk bahu Sang Komandan, hingga pedang marsose yang dibawanya terjatuh. Mayor Klerck kemudian mengambil pistol dan mengarahkannya ke Wiradigda. Namun pada saat yang tepat, prajurit bernama Prawirarana berhasil menusukkan tombak ke leher sang musuh hingga tewas seketika. Peristiwa ini terjadi pada bulan Desember 1751 dan memicu trauma yang mendalam di pihak Kompeni Belanda. Tombak itu, saat ini diabadikan sebagai salah satu pusaka Keraton Kasultanan Yogyakarta, dengan nama Kanjeng Kyai Klerek. Pasca peristiwa Palihan Nagari yang ditandai dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada bulan Pebruari 1755 yang memecah Kerajaan Mataram menjadi 2 bagian, Surakarta dan Yogyakarta, para prajurit dan laskar rakyat pendukung setia Pangeran Mangkubumi ini, menjadi salah satu pilar penting berdirinya Keraton Kasultanan Yogyakarta.

Pada masa Sultan Hamengku Buwono II, kekuatan bersenjata Keraton kembali membuktikan kekuatannya pada saat menghadapi serbuan Balatentara Kompeni Inggris yang terdiri dari orang-orang Sepoy dari India, dibawah pimpinan Kolonel Gillespie. Perisitiwa ini terjadi pada tahun 1812 dan dikenal sebagai peristiwa Geger Sepoy atau Geger Spei, yang berujung dengan jatuhnya Keraton ke tangan Kompeni Inggris disertai penangkapan dan pembuangan Sri Sultan Hamengku Buwono II ke Pulau Penang.

Setelah peristiwa pendudukan Keraton oleh Balatentara Kompeni Inggris, dan sejak ditandatanganinya perjanjian politik antara Thomas Stamford Raffles dan Sultan Hamengku Buwono III pada bulan Oktober 1813, kekuatan bersenjata Keraton menyurut drastis. Dibawah pengawasan Pemerintahan Kompeni Inggris, Kasultanan Yogyakarta tidak lagi dibenarkan memiliki angkatan bersenjata yang kuat. Personil dan sistem persenjataan dibatasi sedemikian rupa, sehingga Keraton tidak mungkin lagi untuk melakukan gerakan militer. Sejak itulah fungsi kekuatan bersenjata Keraton, tidak lebih dari pengawal Sultan dan penjaga lingkungan Keraton.

Pasca tahun 1830, Setelah berakhirnya Perang Diponegoro, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda semakin mengurangi dan membatasi kekuatan militer Keraton. Meski memiliki hampir 1000 personel dengan berbagai jenis senjata, termasuk senjata api, namun keberadaannya sungguh tidak lebih hanya sebagai atribut pelengkap dalam kehidupan tradisi dan adat isitadat Keraton.

Hingga pada tahun 1942, keberadaan kesatuan bersenjata yang berusia hampir 2 abad itu, mencapai akhir riwayatnya. Saat itu, pada masa-masa awal pendudukan Balatentara Jepang, Sultan Hamengku Buwono IX membubarkan semua kesatuan bersenjata di Keraton Yogyakarta, untuk menghindari keterlibatan para prajuritnya dalam Perang Asia Timur Raya.

Baru pada awal tahun 70-an, Sultan Hamengku Buwono IX menghidupkan kembali keberadaan pasukan tradisional ini untuk melengkapi berbagai upacara adat dan atraksi pariwisata di Keraton Yogyakarta, khususnya dalam upacara Garebeg yang diadakan 3 kali setiap tahunnya.

Benteng Baluwerti, Keraton Kasultanan Yogyakarta

01_monumen_dua_setengah_abad_07.jpg

Keraton Kasultanan Yogyakarta dikelilingi oleh sebuah benteng yang didirikan sebagai sarana pertahanan serta untuk mengantisipasi serangan musuh dari luar wilayah Keraton. Benteng ini dinamai Benteng Baluwerti, yang berarti jatuhnya peluru laksana hujan.

Benteng Baluwerti dibangun atas prakarsa Pangeran Adipati Anom, putra mahkota Sultan Hamengku Buwono I, sebagai reaksi atas berdirinya benteng Kompeni di sebelah utara Keraton. Benteng Kompeni yang dibangun antara tahun 1765 hingga 1787 itu, kini dikenal dengan nama Benteng Vredeburg. Pembangunan Benteng Baluwerti sendiri ditandai dengan ornamen simbolik berupa suryasengkala yang berbunyi Paningaling Kawicakranan Salingga Bathara yang bermakna tahun 1785 Masehi. Untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan Daendels, Pada bulan November 1809, Pangeran Adipati Anom yang telah naik tahta menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono II, semakin menyempurnakan bangunan ini.

Benteng Baluwerti berbentuk empat persegi mengelilingi kompleks Keraton seluas lebih kurang 1 kilometer persegi. Tembok benteng setinggi 3,5 meter dan lebar antara 3-4 meter yang membentuk anjungan. Tebalnya tembok benteng memungkinkan orang atau kereta kuda melintas diatasnya. Sisa anjungan pada tembok Benteng Baluwerti masih bisa disaksikan pada sisi selatan sebelah timur.

Benteng Baluwerti memiliki 5 buah pintu gerbang yang disebut plengkung. Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan berada di sisi utara sebelah timur, sekaligus menjadi pintu gerbang istana putra mahkota atau Kadipaten. Plengkung ini bentuknya masih utuh.

Plengkung Jagasura atau Plengkung Ngasem berada di sisi utara sebelah barat. Plengkung ini pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII telah mengalami perubahan bentuk menjadi gerbang bentar.

Di sebelah barat dahulu berdiri Plengkung Jagabaya atau Plengkung Tamansari. Saat ini, Plengkung Jagabaya ini juga sudah berubah bentuk menjadi gapura.

Di sisi sebelah timur, dahulu berdiri Plengkung Madyasura yang disebut pula Plengkung Tambakbaya atau Plengkung Gondomanan, yang sudah rata dengan tanah. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Plengkung Buntet, karena pernah ditutup menjelang serangan balatentara Inggris pada tahun 1812.

Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gadhing yang terdapat di sisi selatan masih berdiri utuh. Fungsi khusus gerbang ini adalah sebagai jalan untuk menghantar Sultan yang wafat menuju makam para raja di Imogiri. Pada sisi kiri dan kanan pintu terdapat ragam hias kepala raksasa yang disebut Kala atau Kemamang sebagai simbol pelepasan mangkatnya sang raja.

Pada setiap sudut Benteng Baluwerti terdapat bangunan bastion yang berfungsi sebagai tempat mengintai musuh. Di setiap bastion terdapat lubang pengintaian dan relung-relung yang berfungsi untuk menempatkan meriam atau senjata lainnya.

Sebelum terjadinya gempa bumi pada bulan Mei tahun 2006, 3 dari 4 bastion ini masih berdiri utuh, yaitu yang berada di sebelah tenggara, barat daya dan barat laut. Setelah terjadinya musibah gempa bumi, bastion-bastion ini sempat mengalami kerusakan yang cukup parah. Satu lagi bastion di sebelah timur laut telah lama runtuh dan saat ini hampir tidak lagi tersisa bekasnya. Sebuah prasasti yang ada di bekas bastion itu, menunjukkan sebab kerusakannya akibat serangan balatentara Inggris pada tahun 1812. Peristiwa yang terjadi pada masa Sultan Hamengku Buwono II tersebut dikenal sebagai Geger Sepoy atau Geger Spei.

Hingga sekitar abad ke-18, Benteng Baluwerti dikelilingi oleh selokan yang lebar dan dalam yang disebut jagang dengan jembatan gantung di depan setiap plengkungnya. Sepanjang tepian jagang ditanam deretan Pohon Gayam. Jika datang ancaman bahaya, jembatan-jembatan ini dapat ditarik ke atas hingga menutup jalan masuk menuju bagian dalam benteng. Pada jamannya, plengkung-plengkung ditutup pada jam 8 malam dan dibuka kembali pada jam 5 pagi diiringi genderang dan terompet para prajurit di halaman Kemagangan.

Kawasan di dalam lingkungan benteng, biasa disebut Jeron Beteng, merupakan situs pusaka budaya utama di Kota Yogyakarta. Selain Keraton sebagai situs terpenting, di kawasan ini juga berdiri sisa bangunan Pesanggrahan Tamansari, sebuah bangunan indah dengan konsep istana diatas air. Disini juga terdapat pola tata ruang yang khas, bangunan-bangunan bersejarah, serta pola tata nama yang masih lestari sejak pertama kali adanya dua setengah abad yang lalu. Meski tidak semuanya utuh sebagaimana adanya semula, kawasan Jeron Benteng menjadi ciri paling spesifik keberadaan Kota Yogyakarta, sebagai salah satu bekas kota kerajaan yang paling utuh dan lestari di Indonesia. Inilah monumen terpenting usia dua setengah abad Kota Yogyakarta, sejak didirikan oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1756 Masehi.

Bangunan Keraton Kasultanan Yogyakarta

01_monumen_dua_setengah_abad_04.jpg

Pagelaran adalah halaman paling depan yang berhubungan langsung dengan Alun-alun Lor. Bagian utamanya adalah Bangsal Pagelaran, yang dahulu bernama Tratag Rambat. Nama Pagelaran baru diperkenalkan setelah pemugaran pada tahun 1921, pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Bangsal ini dipergunakan sebagai salah satu tempat pelaksanaan Upacara Garebeg yang diselenggarakan 3 kali dalam 1 tahun. Antara tahun 1946 hingga 1973, bangsal ini pernah dipergunakan sebagai tempat kuliah pada masa-masa awal berdirinya Universitas Gadjah Mada.

Sepasang Bangsal Pemandengan yang terletak di kanan kiri bangsal utama, dahulu dipergunakan sebagai tempat duduk Sultan beserta panglima perang kerajaan, saat menyaksikan latihan perang-perangan di Alun-alun Lor. Bangsal Pengapit atau Bangsal Pasewakan yang juga berjumlah sepasang, adalah tempat pertemuan bagi para panglima Kasultanan, serta menjadi tempat menunggu perintah atau dhawuh dari Sultan. Bangsal Pengrawit yang terletak di sisi kanan dalam Bangsal Pagelaran, oleh Sultan dipergunakan sebagai tempat pelantikan para Patih. Sisi selatan halaman ini dihiasi 2 lajur tembok berisi relief perjuangan Sri Sultan Hamengku Buwono I dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Sepasang Bangsal Pacikeran berada di bagian selatan, dahulu menjadi tempat jaga bagi para abdi dalem Singanegara dan algojo Keraton yang disebut abdi dalem Mertolulut. Abdi dalem ini bertugas untuk memberikan hukuman bagi tahanan Keraton, yang pelaksanaannya dilakukan di Alun-alun Lor.

Setelah menaiki tangga di sebelah selatan Pagelaran, kita memasuki halaman Sitihinggil sebelah utara atau Sitihinggil Lor. Bangsal Sitihinggil adalah bangunan utamanya, yang dipergunakan sebagai tempat penobatan para raja Keraton Kasultanan Yogyakarta, sekaligus menjadi tempat diselenggarakannya upacara Pisowanan Agung. Pada tanggal 17 Desember 1949, bangsal ini dipergunakan sebagai tempat pelantikan Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat. Dua hari kemudian pada tanggal 19 Desember 1949, di bangsal ini juga diselenggarakan peresmian Universitas Gadjah Mada sebagai perguruan tinggi nasional pertama di Indonesia.

Di bagian tengah Bangsal Sitihinggil berdiri sebuah bangunan bernama Bangsal Manguntur Tangkil. Di tengah bangsal ini terdapat batu persegi atau Selo Gilang yang dipergunakan untuk meletakkan singgasana Sultan ketika berlangsung upacara penobatan serta pada waktu digelarnya Pisowanan Agung. Di belakang Bangsal Manguntur Tangkil, berdiri Bangsal Witono yang menjadi tempat pusaka utama Keraton pada saat dilangsungkannya penobatan raja serta pada waktu upacara Garebeg Mulud pada Tahun Dal.

Di sisi timur halaman Sitihinggil terdapat bangunan bernama Balebang yang dipergunakan untuk menyimpan gamelan pusaka Sekaten, Kyai Gunturmadu dan Kyai Nagawilaga. Sementara di sisi barat halaman ini berdiri Bale Angun-angun dimana tersimpan pusaka Keraton berwujud tombak bernama Kanjeng Kyai Sura Angun-angun. Tarub Agung adalah bangunan di depan Bangsal Sitihinggil yang menjadi ruang tunggu bagi para tamu Sultan yang akan menghadiri upacara resmi di Bangsal Sitihinggil atau sebelum mereka diterima oleh Sultan. Sepasang Bangsal Kori berada di kanan kiri Tarub Agung, berfungsi sebagai tempat jaga bagi para abdi dalem Kori dan abdi dalem Jaksa yang bertugas menyampaikan permohonan maupun pengaduan rakyat kepada Sultan.

Regol Brojonolo adalah pintu gerbang yang menghubungan halaman Sitihinggil Lor dengan Halaman Kemandungan Lor di sebelah selatannya. Halaman Kemandungan Lor juga sering disebut halaman Keben, karena didalamnya terdapat sejumlah Pohon Keben, salah satu tanaman langka yang pada tahun 1986 dinyatakan sebagai lambang perdamaian oleh Pemerintah Republik Indonesia. Bangunan utama halaman ini adalah Bangsal Ponconiti yang dahulu berfungsi sebagai ruang sidang pengadilan di lingkungan Keraton. Di tengah bangsal ini juga terdapat Selo Gilang yang dipergunakan sebagai tempat singgasana Sultan.

Regol Sri Manganti adalah pintu gerbang yang menghubungkan halaman Keben dengan halaman Bangsal Srimanganti. Bangunan utama halaman ini adalah Bangsal Srimanganti di sisi barat, yang dipergunakan sebagai tempat Sultan menyambut kedatangan tamu-tamu penting. Sementara di sisi sebelah timur dahulu berdiri Bangsal Trajumas yang menjadi tempat bagi para pejabat Keraton pendamping Sultan pada saat menyambut kedatangan tamu-tamu penting. Pada saat gempa bumi melanda Kota Yogyakarta pada bulan Mei tahun 2006, Bangsal Trajumas mengalami kerusakan yang cukup parah, sehingga harus diratakan dengan tanah.

Pada sisi selatan berdiri Regol Donopratopo yang menjadi gerbang masuk menuju Bangsa Kencono. Di sisi kiri kanan regol ini, berdiri sepasang arca raksasa Dwarapala. Arca di sebelah timur bernama Cingkarabala, sementara yang berada di sebelah barat bernama Balaupata.

Bangunan-bangunan utama Keraton Kasultanan Yogyakarta terletak di seputar Bangsal Kencono. Bangsal yang menghadap ke timur ini sehari-hari berfungsi sebagai tempat singgasana Sultan serta tempat digelarnya berbagai upacara penting di lingkungan Keraton. Bangsal Prabayeksa yang disebut juga sebagai Gedhong Pusaka, terletak di belakang Bangsal Kencono. Bangsal ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan berbagai senjata pusaka Keraton. Di dalam bangsal ini terdapat lampu minyak yang disebut Kyai Wiji yang selalu dijaga oleh abdi dalem agar tidak padam.

Di sebelah utara Bangsal Prabayeksa berdiri Gedhong Jene yang dibangun pada masa Sultan Hamengku Buwono II. Bangunan ini menjadi tempat tinggal raja hingga pada masa Sultan Hamengku Buwono IX. Saat ini dipergunakan sebagai kantor pribadi Sultan Hamengku Buwono X. Di sisi paling utara berdiri Gedhong Purworetno, satu-satunya bangunan bertingkat yang dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono V. Bangunan ini pernah dipergunakan sebagai kantor pribadi Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Sejumlah bangunan memiliki fungsi yang khusus pada saat berlangsung upacara penting atau penyambutan tamu kehormatan. Bangsal Manis di selatan Bangsal Kencono menjadi tempat penyelenggaraan pesta atau perjamuan kehormatan. Sepasang Bangsal Kotak di depan Bangsal Kencono menjadi tempat bagi para penari Keraton yang sedang menunggu giliran pentas. Bangsal Mandalasana di sebelah utaranya berfungsi sebagai tempat pementasan korps musik Keraton. Sementara gamelan diperdengarkan dari Gedhong Gangsa di sisi timur.

Di sebelah timur Gedhong Gangsa berdiri Kasatriyan yang merupakan tempat tinggal bagi para putra Sultan yang belum menikah. Gedhong Kantor Parentah Hageng adalah tempat pejabat Keraton yang berwenang menyampaikan perintah Sultan kepada semua abdidalem Keraton. Gedhong Danartapura adalah kantor bendahara Keraton. Letaknya berdampingan dengan Gedhong Patehan yang berfungsi sebagai tempat bagi abdi dalem untuk mempersiapkan minuman bagi keluarga Sultan. Sementara Gedhong Kaca adalah bangunan baru yang berfungsi sebagai museum untuk menyimpan benda-benda bersejarah peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Selain bangunan-bangunan tersebut, masih terdapat sejumlah bangunan yang masing-masing memiliki fungsi yang spesifik. Tidak semua bangungan yang ada di Keraton dapat dikunjungi khalayak umum, khususnya tempat dan bangunan yang berada di sebelah barat Bangsal Kencono. Tempat dan bangunan tersebut hanya dapat dikunjungi oleh kerabat Keraton atau para abdi dalemnya saja.

Regol Kemagangan adalah gerbang yang menjadi penghubung antara halaman Bangsal Kencono dengan halaman Kemagangan. Pada tembok penyekatnya terdapat ornamen simbolik berupa dua ekor naga saling berlilitan yang melukiskan candrasengkala berbunyi ” Dwi Naga Rasa Tunggal “. Sementara di sebelah kiri kanan sisi selatan gerbang juga terdapat patung 2 ekor naga dalam posisi siap mempertahankan diri, yang melukiskan candrasengkala berbunyi ” Dwi Naga Rasa Wani “. Makna keduanya sama, yaitu angka tahun 1682 Jawa atau 1756 Masehi, tahun berdirinya Keraton Kasultanan Yogyakarta.

Pelataran Kemagangan merupakan bagian belakang dari komplek bangunan Keraton, dengan Bangsal Kemagangan sebagai bangunan utamanya. Di bangsal inilah dipergelarkannya upacara Bedhol Songsong, yaitu pergelaran wayang kulit semalam suntuk yang diselenggarakan sebagai penutup setiap upacara ritual di lingkungan Keraton. Pada sudut sebelah tenggara dan barat daya halaman Kemagangan, berdiri Panti Pareden, sepasang bangunan yang diperuntukkan bagi abdi dalem Keraton yang bertugas mempersiapkan Gunungan Sekaten.

Regol Gadhungmlati adalah gerbang yang menghubungkan antara halaman Kemagangan dengan halaman Kemandungan Kidul. Pada tembok penyekatnya juga terdapat ornamen simbolik yang melukiskan cadrasengkala yang berbunyi ” Dwi Naga Rasa Tunggal ” sebagaimana dijumpai di Regol Kemagangan.

Bangsal Kemandungan adalah bangunan utama di halaman Kemandungan Kidul. Regol Kemandungan yang berada di sisi selatan halaman ini berhubungan langsung dengan Sitihinggil Kidul yang merupakan bagian paling selatan kompleks bangunan Keraton. Bangunan utamanya adalah Bangsal Sasana Hinggil yang menghadap ke arah Alun-alun Kidul. Bangunan ini telah dipugar pada tahun 1956 pada masa Sultan Hamengku Buwono IX. Pemugaran dilakukan dalam rangka peringatan 200 tahun berdirinya Keraton Kasultanan Yogyakarta, sehingga kemudian disebut Sasana Hinggil Dwi Abad.

Latar Belakang Kraton Jogjakarta

Keraton Kasultanan Yogyakarta

Categories : Cinderamata (souvenir), arts, Heritage, Sejarah (history), Sudut Kota, Tempo doeloe, Tradisi (cultural), object natural, view, handycraft.

trackback

01_monumen_dua_setengah_abad_09.jpg

Keraton Kasultanan Yogyakarta didirikan pada tahun 1756 Masehi oleh Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bertahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono I. Pendirian Keraton yang sekaligus menandai berdirinya Kota Yogyakarta ini, diabadikan dengan ornamen simbolik berupa candrasengkala berbunyi “Dwi Naga Rasa Tunggal”, yang bermakna angka tahun 1682 Jawa. Ornamen berupa 2 ekor naga yang saling berlilitan ini, terdapat di pintu gerbang atau Regol Kemagangan dan Regol Gadhung Mlati yang berada di dalam Keraton Kasultanan Yogyakarta.

Sri Sultan Hamengku Buwono I dikenal sebagai arsitek yang banyak membangun karya arsitektur megah. Selain Keraton Kasultanan, Sultan juga membangun Pesanggrahan Tamansari, Benteng Vredeburg serta Tugu Pal Putih yang menjadi simbol Kota Yogyakarta. Bahkan, bangunan Keraton Kasunanan Surakarta pun merupakan karya arsitektur hasil rancangannya. Karya terbesar Sultan adalah landscape Kota Yogyakarta yang berorientasi pada poros magis Pantai Selatan, Panggung Krapyak, Keraton, Tugu Pal Putih dan Gunung Merapi. dan berada diantara aliran 2 sungai, Sungai Code dan Sungai Winongo. Konon, kedua sungai ini sempat dibelokkan arahnya untuk memberikan ruang yang memadai untuk pembangunan Keraton berikut bentengnya. Letak Keraton secara geografis digambarkan dalam sebuah tembang Mijil :

Kali Nanga pancingkok ing puri,Gunung Gamping kulon,Hardi Mrapi ler wetan prenahe,

Candi Jonggrang mangungkang ing kali,

Palered Magiri, Girilaya Kidul.

Kota-kota kerajaan di Jawa pada umumnya memiliki empat komponen utama, yang dikenal sebagai konsep Catur Gatra Tunggal atau empat komponen dalam satu kesatuan. Komponen-komponen itu adalah Keraton, Masjid, Alun-alun dan Pasar. Di Yogyakarta, semua komponen itu masih terpelihara lestari dan menjadi bagian aktifitas kehidupan warganya.

Pasar Beringharjo yang terletak di sebelah utara Keraton, sampai hari ini masih menjadi pasar terbesar di Kota Jogja, sehingga sering disebut Pasar Gedhe. Keramaian pasar ini tampaknya tidak banyak berubah sejak dua setengah abad yang lalu. Alun-alun, baik yang di utara maupun di belakang Keraton juga masih sebagaimana adanya semula, lengkap dengan 2 Pohon Beringin di tengahnya. keduanya masih utuh, meski lingkungan sekelilingnya telah berubah mengikuti perubahan wajah jaman. Bahkan luas keduanya tidak berkurang barang sejengkal pun juga. Begitu pula dengan Masjid Keraton atau Masjid Gedhe yang berada di sebelah barat Alun-alun Utara. Masjid Gedhe dan Alun-alun, masih tetap menjadi tempat diselenggarakannya upacara adat Garebeg yang telah diselenggarakan sejak jaman Sultan Hamengku Buwono I.

Sebagai situs pusaka budaya, Keraton Kasultanan Yogyakarta masih mempertahankan dan melestarikan sebagian besar bentuk dan fungsi bangunannya. Menelusuri halaman-halaman Keraton dengan mengenali berbagai bentuk dan fungsi bangunannya, adalah salah satu cara untuk memahami sebuah tradisi budaya, yang sudah berlangsung selama dua setengah abad lamanya.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...