Repost: Biaya mematenkan motif batik masih mahal


30 September 2009. Ditetapkannya batik sebagai warisan dunia (world heritage ) oleh badan khusus PBB bidang budaya dan pendidikan (Unesco) jelas merupakan penghargaan yang membanggakan dan patut  disambut gembira pelaku dunia batik di Yogyakarta. Di mata mereka, Unesco dianggap mampu melihat keistimewaan batik (tulis) Indonesia yang tidak ada yang menyamainya.


(click image see web addres)
Berikut pendapat Prayogo, pembatik, pendidik batik dan  kurator museum batik yang telah puluhan tahun menggeluti dunia batik tentang penghargaan dari Unesco untuk batik serta perkembangan batik di Yogyakarta sendiri:
Ada dua golongan batik di Tanah Air yaitu batik pesisir dan batik kraton/pedalaman. Museum Batik Jogja, saat ini mengelola 1.000 koleksi batik dengan lebih dari 1.000 motif yang berada di dalamnya. Misal saja batik Parang yang mempunyai 41 motif.


(click image see web addres)

Sedangkan jenis motif batik sendiri ada tiga macam yaitu klasik, dinamis, dan modern. Motif batik klasik digunakan masyarakat pada saat melakukan ritual kepercayaan / kebudayaan seperti hajatan pernikahan. Motif batik yang masuk dalam motif klasik antara lain sidomukti, sidoasih dan truntum.

Motif batik dinamis digunakan dalam kehidupan keseharian. Sedangkan motif modern digunakan oleh para desainer atau perancang mode sebagai kombinasi rancangan pakaian mereka.
Penghargaan terhadap keberadaan batik yang dijadikan sebagai salah satu warisan dunia (world herritage) oleh Unesco sangat membanggakan sekaligus begitu penting karena Unesco menghargai batik asli Indonesia.

Unesco mampu melihat proses pembuatan batik Indonesia yang sangat berbeda dengan pembuatan batik di negara lain seperti Korea, China ataupun Malaysia.



(click image see web addres)


Kalau batik luar negeri dibuat hanya dengan menggunakan lilin, di Indonesia, pembuatan batik menggunakan tiga jenis malam yaitu Klowong, Tembong dan Biron.

Bahan-bahan untuk membuat malam pun jumlahnya sangat banyak mencapai 17 macam. Belum lagi proses pembuatan kain batik asli (hand made) yang membutuhkan waktu lebih dari 1 tahun hanya untuk membuat satu kain batik dengan motif sederhana seperti batik Parang misalnya.
Untuk itu, semua pihak harus bersama-sama melestarikan keberadaan batik agar tidak berpindah ke negara lain dengan cara mendukung keberadaan pembatik tradisional yang masih menggunakan pewarna-pewarna alam dalam proses pembuatan batik mereka. Justruk karena proses serta bahan yang alami dalam pembuatan batik Indonesia inilah Unesco akhirnya memberikan penghargaan khusus.
Kondisi masyarakat saat ini, umumnya menghargai keberadaan motif batik tapi tidak pada proses pembuatan batik yang sesungguhnya.
Saya menghargai adanya batik printing namun hal tersebut menyimpan bahaya tersendiri, yaitu masyarakat akan melupakan keberadaan batik asli (tulis) jika mereka tergila-gila pada batik printing.
Menyangkut keberadaan serta eksistensi batik di masa depan, khususnya di Yogyakarta, sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan akan punah atau hilang karena banyak sekali generasi muda yang masih mengingat dan mempelajari batik tulis.
Contohnya adalah adanya kegiatan pelatihan atau kursus membatik yang dilakukan museum batik yang pada tiap tahunnya selalu diikuti 200-an anak-anak dari pra TK,TK, SD dan SMP.
Dengan demikian jika dari kecil sudah dikenalkan cara membatik maka selanjutnya mereka bisa mengembangkan sendiri.



(click image see web addres)


Bagaimana peran pemerintah? Pemerintah sebenarnya sudah memulai memberi perhatian terhadap keberadaan batik. Tapi saat ini belum bisa dirasakan menyenangkan karena adanya persoalan mahalnya proses mematenkan produk batik yang dibuat pembatik.

Saat ini biaya untuk mematenkan satu motif batik saja, biaya yang harus dikeluarkan sangat tinggi mencapai Rp 2 juta.
Kondisi tradisi membatik di Yogyakarta sendiri saat ini sepertinya sudah bergeser ke wilayah barat dan selatan setelah sebelumnya Kota Yogyakarta, khususnya Kraton Yogyakarta, menjadi pusat pembuatan batik seperti di daerah Patehan yang memang menjadi tempat tinggal abdi dalem Kraton yang kental akan budaya membatik.
Kulonprogo serta Imogiri kini menjadi sentra industri batik.
Beralihnya sentra batik dari wilayah Kraton ke beberapa wilayah ini disebabkan perkembangan jaman yang membawa arus modernisasi yang telah mengubah wajah Kota Yogyakarta yang semula begitu tradisional menjadi wajah modern dan kapitalistik. Kulonprogo dan Imogiri bisa menjadi sentra pembuatan batik saat ini dikarenakan banyaknya para pembuat batik di Kota Yogyakarta baik yang berada di dalam lingkungan atau luar lingkungan Kraton Yogyakarta yang memilih pindah tempat untuk bisa membuat sekaligus mengembangkan sendiri pembuatan batik yang telah mereka lakukan selama ini di Kota Yogyakarta. (The Real Jogja/joe) http://jogjanews.com/2009/09/30/biaya-mematenkan-motif-batik-masih-mahal/
-------------------------------
being a fairy, KS Oktarini Wirjono:
Jika mematenkan 1 motif batik membutuhkan biaya 2juta rupiah, sebenarnya itu tidak seberapa jika dikalikan 1000 atau bahkan 2000. Gedung DPR yang baru saja seharga 1,2 triliun rupiah kan? Jadi, apa masih ada alasan tidak mampu membiayai hak paten? Tidak mampu apa tidak mau sih, Pak Kepala DPR.  Apa karna tidak bisa berbahasa Inggris? Tidak sedihkah melihat hasil karya bangsamu ini diambil bangsa lain? Tidak pernah membaca berita pers yang meliput batik telah diakui negara lain? Iya, UNESCO sudah mengakui batik sebagai warisan dunia (world heritage). Tapi yakinkah anda-anda kalau itu saja cukup? DPR aja kalau rapat pakai jas, bukannya batik. Kalah dong sama Nelson Mandela? Go batik goooooo :D Proud to be Indonesian!

Bagaimana? Tertarik mengenakan batik? :-)

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...