Gunungan Ciri Khas Upacara Garebeg

Upacara Garebeg di Kasultanan Yogyakarta diselenggarakan 3 kali dalam satu tahun pada bulan Syawal, bulan Besar dan bulan Maulud dalam penanggalan Jawa, bertepatan dengan hari-hari besar Islam. Upacara Garebeg Maulud yang diselenggarakan setiap tanggal 12 bulan Maulud – yang bertepatan dengan bulan Rabi’ul Awal dalam penanggalan Islam, merupakan puncak perayaan Sekaten yang diselenggarakan di Keraton Kasultanan Yogyakarta untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Ciri khas upacara Gerebeg ditandai dengan ditampilkannya hajad dalem atau sedekah berupa sesajian berbentuk tumpeng besar yang terbuat dari aneka bahan makanan, seperti beras ketan, telur, bebuahan serta sayur-sayuran. Karena bentuknya yang menyerupai gunung, sesajian ini kemudian diberi nama Gunungan, yang melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan Kasultanan dan rakyat Yogyakarta.

Sedekah Gunungan merupakan salah satu wujud sesajian selamatan yang secara khusus dibuat untuk disajikan dalam wilujengan nagari atau selamatan negara yang menjadi hajad utama dalam penyelenggaraan setiap Upacara Garebeg Maulud. Biasanya, terdapat 6 macam Gunungan, yaitu : Gunungan Lanang, Gunungan Wadon, Gunungan Gepak, Gunungan Pawuhan dan Gunungan Dharat yang selalu disajikan dalam setiap Garebeg Maulud, serta Gunungan Kutug yang hanya disajikan setiap 8 tahun sekali pada Garebeg Maulud tahun Dal.

Gunungan yang selalu ditampilkan dalam Upacara Garebeg, merupakan salah satu bentuk ungkapan khas Jawa berkaitan dengan simbolisasi kesuburan, kultur agraris berikut sifat-sifat magisnya. Pada jaman dahulu, Gunungan yang dibuat dalam Garebeg Maulud bisa mencapai 30 buah, yang terdiri dari 10 Gunungan Lanang, 4 buah Gunungan Wadon, 4 buah Gunungan Pawuhan, 4 buah Gunungan Dharat, dan 8 buah Gunungan Gepak. Untuk itu, Keraton membuat sepasang bangunan yang disebut Panti Pareden di Halaman Kemagangan, yang secara khusus dipergunakan untuk membuat Gunungan.

Proses pembuatan Gunungan diawali dengan Upacara Tumplak Wajik di Panti Pareden Halaman Kemagangan yang diselenggarakan 2 hari menjelang dilaksanakannya Garebeg Maulud, pada sore hari selepas Sholat Ashar. Upacara yang disertai dengan persembahan aneka sesajian ini merupakan bentuk upacara selamatan untuk menolak berbagai kemungkinan gangguan selama berlangsungnya proses pembuatan Gunungan.

Pada jaman dahulu, upacara ini harus disaksikan oleh salah seorang pembesar atau Pengageng Keraton yang menjadi utusan Sultan. Para abdi dalem Keraton yang khusus bertugas dalam pembuatan Gunungan pun harus dalam keadaan suci dan mematuhi berbagai pantangan, termasuk kewajiban untuk melakukan puasa dan sejumlah ritual tertentu terlebih dahulu. Seiring dengan perkembangan jaman, sejumlah tradisi ritual tampaknya semakin disederhanakan, sebagaimana jumlah Gunungan yang tidak lagi sebanyak pada masa lalu.

Upacara Tumplak Wajik diutamakan pada pembuatan Gunungan Wadon yang menjadi simbol kesuburan dalam proses penciptaan. Untuk itu dipersembahkan aneka rupa sesajian yang berkaitan dengan kosmetika tradisional seperti cermin, sisir, bedak boreh atau lulur, sirih, serta kain mori dan semekan atau kain penutup dada. Sementara sebagai penjaga keselamatan, disajikan sebuah kain dengan motif kuno bernama Bangun Tulak, yang dipercaya memiliki kekuatan magis untuk menolak bala.

Upacara Tumplak Wajik selalu disertai dengan iringan musik kothekan atau gejogan, berupa bebunyian yang ditimbulkan dengan cara memukul atau menabuh lesung alu penumbuk padi, kenthongan, serta berbagai piranti yang terbuat dari kayu. Tetabuhan ini memiliki lagu dan irama khas tertentu seperti Gendhing Lompong Keli, Tundhung Setan dan Owal-awil, yang memiliki mak-na magis sebagai penolak bala.

Meski dalam satu tahun, Keraton menyelenggarakan tiga kali upacara Garebeg, namun Upacara Tumplak Wajik ini hanya diselenggarakan 2 kali, pada bulan Besar dan bulan Maulud saja.

Setelah Upacara Tumplak Wajik selesai, proses pembuatan Gunungan dilanjutkan selama 2 hari hingga malam menjelang dilaksanakannya Upacara Garebeg Maulud.

Sejumlah tradisi ritual semakin disederhanakan dan prosesi pembuatan Gunungan barangkali tidak lagi sekhidmat jaman dahulu. Namun antusiasme dan harapan masyarakat untuk memperoleh berkah dari Gunungan tetap saja ada, termasuk pada saat proses pembuatannya.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...