Mari Mengenal Batik: Pudarnya Pemaknaan Motif Batik

Berbicara soal batik memang selalu identik dengan masyarakat Jawa. Hal ini tentunya tak lepas dari adanya motif atau gambar pada kain yang berasal dari kerajaan di wilayah Jawa. Namun barangkali tak banyak orang (terutama kaum muda) yang mengetahui bagaimana asal muasal adanya batik ini. Apalagi mengenal lebih jauh mengenai berbagai jenis motif dan juga filosofinya.

Untuk itu, dengan tuntunan seorang kurator museum batik saya akan mengajak Anda untuk sedikit mengupas aneka motif tradisional yang sampai dengan saat ini masih banyak digunakan oleh masyarakat jawa tersebut. "Sebenarnya batik mulai dikenal masyarakat karena aturan dari raja yang dianggap sebagai wakil dewa pada masa 1927-an," ungkap Drs. Bejo Haryono alias Pak Bejo memulai obrolan tentang batik.

"Kalau berbicara soal motif, sangat luas. Karena kita berpacu pada beberapa sumber yang harus kita ungkap." Misalnya saja Sewan Soesanto, ia membagi batik dalam sembilan kelompok berdasarkan nama, yakni lereng, semen, parang, truntum, kawung, gringsing, ceplok, nitik, motif pinggiran, dan terang bulan. Sementara berdasarkan balai penelitian batik, motif itu terbagi menjadi tiga kelompok, motif figuratif, semi figuratif, dan non figuratif. Pengelompokan yang lain adalah berdasarkan warna, yakni bambangan (merah), bangjo (merah-hijau), dan kelengan (ungu). Sebagian lagi mengelompokkan batik berdasarkan pembatiknya sendiri seperti, Wan Tirto dan Harjo Negoro.

"Namun secara umum batik terbagi dua macam, yakni geometris dan non geometris. Ini menurut Vanderhoop," sambung bapak dua anak ini. Motif geometris atau yang berdasarkan ilmu ukur dapat kita lihat pada batik yang gambarnya garis-garis seperti kawung, parang, dan panji. "Secara filosofi, batik ini menggambarkan adanya birokrasi pada pemerintahan. Ada keteraturan dari raja sampai dengan rakyat, atau istilahnya manunggaling kawula gusti."

Sementara motif non geometris yang lebih bebas dapat ditemukan pada batik semen, atau yang bergambar binatang, tanaman, hutan, dan sejenisnya. "Ya, itu menggambarkan kehidupan semen, yakni kehidupan yang semi. Semi itu tumbuh, tumbuh itu berkembang. Nah, orang yang memakai batik ini mempunyai harapan bahwa dalam kehidupannya akan tercukupi dengan sandang, pangan, dan papan," lanjut cerita Pak Bejo sembari menunggu museum yang sepi pengunjung.

"Dalam perkembangannya, orang memakai batik bukan karena makna atau filosofinya, namun lebih pada kepantasan atau keindahan saja." Ketidakteraturan tersebut terlihat dari banyaknya anak-anak muda sekarang memakai batik parang dan kawung. Padahal sebenarnya batik motif ini tidak boleh dipakai masyarakat umum, karena hanya diperuntukkan bagi kerabat kraton. "Parang itu hanya untuk raja. Ini mengacu pada hukum adat yang memang tidak tertulis," jelasnya lagi.

Ini bukan mutlak kesalahan dari para generasi muda. Karena, bahkan di lingkungan kraton yang merupakan akar tumbuhnya batik pun pemaknaan ini mulai memudar. Walaupun memang masih ada pemakaian berdasarkan penggolongan itu, tapi tetap ada pemudaran. "Padahal kalau ditinjau dari sejarah, batik ini kan muncul dan berawal dari kerjaan sampingan para selir yang jenuh karena menunggu kunjungan sang raja. Setelah itu baru dikembangkan oleh para seniman kerajaan dan disebarkan oleh para saudagar. Batik saudagaran inilah yang ditiru pabrik dan kemudian menyebar di masyarakat," ungkap bapak kelahiran 1948 ini. (les)


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...